Tak Ada Yang Abadi

Oleh : Maria Ulfa

Seperti dandelion ini, aku berharap semua yang pernah menyakitkan akan berlalu cepat. Karena tak ada yang mengabadi kecuali sang Pelukis Hati.


Hari ini jalangan basah, sisa-sisa perayaan hujan semalam masih melekat di ujung-ujung helai daun. Aku menikmati alunan udara sejuk, sesekali melempar wajah ke sudut cakrawala. Aku tersenyum, hari ini sepertinya akan cerah. mungkinkah sama di sudut paling sempit akan ada hati yang kembali bersinar. Setelah apa yang kulihat kemarin sore membuat semua terasa gelap. Tak ada yang abadi, senandung lagu Noah ini terus kunyanyikan sepanjang perjalanan menuju kantor. Entah apa yang membuatku tiba-tiba mengawali pagi dengan syair yang indah. Mungkinkah,  luka yang kualami juga akan reda? aku bertanya pada hatiku sendiri. Berharap di bentangan ufuk sana ada jawaban yang akan kudengar. Ah mana mungkin, aku nyaris menjadi si pesimis yang mendahului ketetapanNya.

Usai menempuh 600 deti, aku masih terbuai dengan syair lagu yang sedari kunyanyikan, sesekali  butiran-butiran bening jatuh menempa lapisan bedak tipis. Aku berhenti sejenak, membuka kaca helm yang sedari menghalangi aliran bening dari mata-mata yang hendak melihat. Hanya tinggal 5 menit aku akan sampai. Aku mengambil selembar tisu lalu kuusap-usap air mata yang sudah hampir mengering. Kuarahkan wajahku pada spion yang tampak buram. Aku harus kuat, aku yakin semua akan baik-baik saja. Aku tak bisa berlarut-larut seperti ini. Mungkinkah apa yang kau lakukan kemarin bagian tersulit yang telah dititip Tuhan namun harus tetap kulalui dengan baik. Ataukah juga kau sedang menguji kadar kesabaranku.

Jika kau tanya aku cemburu, tentu akan kujawab tidak, untuk apa? menjalin silaurahmi bukankah hak setiap mahluk. Lalu apa yang salah dari percakapan itu, kau begitu ramah, hatimu begitu membumi, entah dalih apa yang membuat hatiku berantakan saat itu. Aku bahkan menyesali apa yang telah kuperbuat, tidak. Aku bukan wanita lemah,  bukankah itu hanya sebuah dialog sederhana namun sangat sarat bagi ia bernama hati. Aku porak-poranda, jenguklah sebentar agar ia tak semakin HANCUR. Aku tak ingin menilai jauh, aku ingin berdamai dengan hatiku sendiri.

Hey, rasanya aku hendak  menyerah. Aku tak sanggup melewati ini tanpa iringan senyummu. Aku ingin kamu bersikap adil pada siapa pun, jangan berlebihan, mataku tak sekokoh itu saat menatapnya. Namun aku tak bisa terus tenggelam dalam euforia sesaat, Allah Ada untuk kukembali. Mungkinkah, aku sedang merindukanNya. Merindu dzat yang Maha Kuat. Ya Allah tuntun hamba menuju jalan lurusMu. Kuatkan aku seperti karang di laut lepas.

Ketika sudah berada di jalan yang benar (menuju Allah), berlarilah. Jika sulit, berlari kecil lah. Jika lelah berjalanlah, jika itupun tak bisa merangkaklah. Namun jangan sesekali berbalik arah dan berhenti. Imam Syafi'i 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri