Jakarta, I'm Coming :D

Assalamu'alaikum, apa kabar sahabat pena? Ini adalah Jum'at kali kedua di bulan November. Beberapa hari lalu aku telah berkunjung ke Ibu Kota. Menemui sahabatku Nike, perempuan berkulit putih, memiliki tubuh mungil. Jika sekilas ia nampak seperti orang Cina, dipadu bola matanya yang sipit. Panggilannya Ike, dia anak sulung dari dua bersaudara. Ibu dan ayahnya telah lama berpisah. Lahir 22 tahun silam di Padukuan, Sumatera Barat. Kami adalah sahabat karib semenjak duduk  di kelas dua SMA. Pertemuan kami bermula dari ajang pencarian bakat di sekolah di bidang bahasa inggris. Kalau tidak salah namanya English Club. Di sana kami menemukan teman baru, di latih dan di bina menjadi siswa yang mahir dalam melafazkan bahasa inggris. Setelah dinyatakan lulus, Ike melanjutkan kuliah di Universitas Andalas dengan spekulasi jurusan sastra inggris, sedang aku melanjutkan studi agama di UIN Padang. Semasa proses kuliah, beberapa kali kami menyempatkan reunian. Biasanya kalau tidak di Plaza Andalas, kami bertempu di tepi pantai Muaro. Kata orang senja itu romantis, makanya kami menghabiskan waktu di bawah lembayung kota Padang tepatnya taplau (tapi lauik).
Minggu, 06 November 2016. Usai melakukan dua rakaat, aku langsung menarik handuk berwarna hijau kusam dari balik pintu. Aku mengenakan baju bergaris dongker di padu warna abu-abu. Dibalut hijab berwarna kuning dengan sepatu biru yang masih terlihat segar karena baru kumandikan tanpa sabun. Setelah berpamitan pada  ibu, aku bergegas menuju stasiun, menyandang tas hiitam yang gemuk yang berisikan air, dan cemilan ringan yang baru kubeli dari pasar. Menempuh 15 menit akhirnya aku sampai di stasiun Klari. Stasiun yang di apit oleh pematang hijau dan juga beberapa rumah penduduk. Setelah sampai di loket aku menyodorkan Rp 6000 kepada petugas yang dengan gagah duduk di loket pembelian tiket. Setelah kudapati secarik kertas kecil, mataku segera mencari waktu keberangkatan. Ternyata masih ada beberapa menit lagi waktu yang tersisa sebelum kapsul panjang tiba di stasiun. Matakuku menyapu sekeliling mencari tulisan yang terdiri dari enam huruf, bagaimana pun aku harus menyempatkan diri membuang keganjalan yang kelak akan kurasakan saat kapsul kereta telah berangkat. Setelah keluar dari ruangan yang hanya ada aliran air dan cermin kecil. Aku berdiri mengikuti beberapa rombongan yang hendak menduduki kursi di atas kapsul. Pengumuman keberangkatan kereta mulai tersiar, seluruh penumpang yang sedang menghempaskan pantat di ruang tunggu segera beranjak menunggu kapsul kereta di dekat tangga-tangga kecil. Tangga yang terdiri dari tiga jenjang untuk memudahkan para penumpang saat menginjak bibir kereta.



Aku mengikuti beberapa perempuan sebayaku, al hamdulillah. Kereta penuh, aku memasrahkan tubuh berdiri sepanjang jalan. Berdiri di antara penumpang yang tengah asik bercengkrama dengan teman perjalanan. Ah aku sedikit cemburu, andai kamu di sini pikirku saat itu Pasti berdiri berjam-jam tidak akan berbuah lelah. Sepanjang menyusuri rel kereta aku hanya berdiri seraya menikmati keindahan alam yang terhalang kaca buram. Beberapa sungai terlewati, pematang hijau yang mulai menguning. Hingga akhirnya kereta berhenti di stasiun Pasar Senen Jakarta. Aku baru sadar, ternyata dari Karawang-Ibu Kota tidak memakan waktu yang banyak. Pukul 07.48 WIB aku telah memasuki Kota Jakarta. Aku kemudian merogoh ponsel putih, memberitahu Ike bahwa sebentar lagi aku akan tiba di stasiun Jakarta Kota. Dia membalas, katanya sedang menunggu Gina dari pasar. Yasudah aku bilang padanya akan menunggu di stasiun Jakarta Kota. 

Akhirnya aku tiba di stasiun yang ramai dengan ribuan derap langkah. Stasiun yang berada di bawah lorong. Kira-kira lorong itu 15 meter tepat berada di atas kepalaku. Aku mencari pintu keluar. Mengikuti beberapa penumpang yang sama saat berada di kapsul kereta, memberikan bukti berupa tiket pada petugas yang menjaga gerbang keluar. Setelah menyorongkkan tiket yang sudah kucel aku bergegas mencari tepat duduk. Tak ada tempat duduk aku segera membeli pecal, agar kakiku tak berisik kelelahan. Setelah membayar aku kemudian melihat-lihat ke jalanan yang di padati angkot telur asin, beberapa buah bemo dan gojek. Ah selain di televisi, ini kali pertama aku melihat alat transportasi ibu kota pertama kali. 


Setelah menunggu hampir lebih satu jam, perutku yang telah kuisi pecal masih terdengar bunyi lapar. Aku teringat pesan Irda keponakanku. Katanya kalau sedang di stasiun Jakarta kota belum lengkap jika tak membeli Roti Maryam, aku kemudian mencari beberapa ruko yang berdiri di tepian stasiun. Kuintip barisan harga dari balik punggung para pembeli. Aku memutuskan membeli rasa original harga paling murah di antara yang terpampang di papan harga. Setelah melakukan transaksi, aku duduk di depan Starbucks, memakan lahap roti maryam bertabur serbuk putih dengan rasa manis. Akhirnya ponselku berdering, Ike mengirimiku pesan. "Maaf menunggu lama, ike lagi nunggu Grab ya, katanya dengan perasaan tak enak. Grab? aku baru mendengar apa itu grab. Setelah kutelusuri di papan pencarian google ternyata Grab itu semacam gojek online. Ah lagi-lagi aku baru tahu tentang istilah kendaraan di ibu kota.

Setelah berjuang dengan bosan, aku baru sadar di dalam tas ada buku yang kuterima gratis dar Mba Afifa Afra. Aku membaca beberapa lanjutan cerita yang belum usai kubaca. Berelang 30 menit ponselku kembali berdering. Ike bilang dia sudah sampai, aku memberitahunya posisiku sedang berada di depan starbucks aku langsung menutup lembaran yang tengah kubaca. Dari jauh aku melihat senyumnya yang mengembang, aku menyalaminya tanpa ritual cipika cipiki. Ternyata wajah Ike tampak lebih berisi dibanding dua bulan silam saat dia mengunjungiku  di Kota Karawang. Sebenarnya aku sedikit kecewa, mengapa kemarin rambut indahnya dibiarkan tergerai dan dinikmati lelaki yang belum halal. Ah aku tahu dia sudah dewasa, tahu mana yang baik dan buruk. Ke semoga kedepannya kejadian ini cukup sekali terjadi. Terima kasih telah mengajakku menikmati Ibu kota, berkunjung ke tanah abang, menaiki KRL, Memakan soto betawi sampai tak ada setetes kuah yang tersisa. Menaiki tangga penyebrangan busway. Ah letih itu sudah terbayar dengan kebersamaan kita. Semoga esok lusa kita bisa menciptakan kenangan yang lebih meriah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri