Sepotong Kisah Yang Baru

Oleh : Maria Ulfa



Kemarin, tepatnya di hari ke 23 di bulan pertama tahun 2017. Setelah bermain hujan di depan rumah (plis ini efek kelangkaan air di rumah) aku merampas semua sandal yang terpajang di rak sepatu, tanpa terkecuali. Lantas menyimpannya di dalam ember berukuran sedang, dibalut dengan warna khas oranye. Aku menaruhnya tepat di bawah air hujan yang menjuntai dari atap. Agar debu-debu yang menempel segera tanggal dan berguguran. Meski sebenarnya tak bisa tersentuh kenakalan air hujan, mungkin hanya dengan cara ini beberapa sepatu dan sendalku yang sudah lama kusam bisa kembali bersinar. Setelah menyabuninya dengan bubuk deterjen, lalu kugantung di besi-besi yang terdapat di puncak gerbang.

Setelah membersihkan badan, aku mengeringkan rambut dengan handuk merah hati. Handuk yang kubeli dari pasar tradisional, handuk yang seharusnya kuberi pada kakak sepupu di Bandung. Maaf uni, adikmu nakal. Hanya karena bernilai murah, aku sempat mengurung niat pemberian ini. Tapi aku yakin, tanpa handuk ini Uni pasti memiliki setumpuk handuk-handuk yang lebih lembut dan bagus. :P Kalian tahu, Uni itu panggilan kakak perempuan dalam bahasa Minangkabau, ibunya adik dari Ibuku. Ayahnya seorang datuk berdarah minangkabau.

Menjelang adzan maghrib berkumandang, aku melepas ponsel yang sudah lama terkoneksi di kabel bundar dekat TV. Lantas membuka ruang obrolan di bbm atas nama Saila. 
"Ping", Kakak di Karawang kan?
pesan yang sudah parkir di ruang obrolan 2 jam lalu, baru bisa kubalas seusai mandi.
"Iya," tulisku dengan nada ramah
"Boleh nanya kak?" dengan nada khawatir
"Boleh," balasku cepat
"Kak, di sana ada nggak yang jualan baju couple?"
"Ada," tulisku lagi tanpa sedetik memikirkan kebenarannya.
"Kakak kapan kesana, sekalian liat-liat kalau ada yang cocok aku nitip."
"Kalau ada waktu, kenapa ga di pesan online? kalau mau bagus di daerah Bandung." Aku menjawab sesuai porsi pertanyaan.
"Ada kak, tapi aku takut nggak sesuai dengan gambar," paparnya kemudian

Setelah bertanya-tanya seputar toko, tiba-tiba terbesit tanya untuk Saila.
"Emang kamu maunya bahan apa?"
"Couple yang untuk ke pesta gitu lah kak."
"Oh begitu, emang siapa yang pesta?" Celetukku tanpa basa-basi
"Kawan kak, Mamak juga iya."

Sejenak hening, Mamak? aku baru ingat panggilan akrab Saila ke dia adalah Mamak. Otomatis yang bakal menikah itu dia. Ada yang berdesir sekejap dalam dada.

"Kak, tanyanya seperti sedang kehilangan
"Hehe, iya di sini. Bagus atuh." Aku menjawab sekenannya
"Tapi Kakak sudah ada pengganti Mamak kan?"
"Alhamdulillah," seketika ucapan syukur itu melintas di ruang obrolan
"Alhamdulillah kalau gitu, dia menyisp emot senyum dan tertawa level sedang."

Sebenarnya, aku tak hendak panjang lebar bertanya mengenai Mamaknya yang akan melangsungkan pernikahan selepas lebaran tahun ini. Hanya ingin terlihat biasa dan dewasa menghadapi kenyataan. Sempat cemburu mengapa harus kamu yang merasakan kebahagiaan hakiki itu. Atau mungkin Allah memang sudah menyiapkan ruang terbaik untukku bersanding dengan dia, ah maafkan aku Tuhan. Aku lupa bagaimana menuai syukur ketika gagal elah resmi menghampiri. Haha, hati kecilku berbisik nakal. Aku akubahkan pernah ditawari menikah oleh dia, hanya saja sepasang lengan dan doaku telah berpaling pada mahluk ciptaanNya yang jauh lebih baik kala itu. Semoga acaranya lancar sampai selesai, tulisku di akhir percakapan dengan Saila.

Di sini, aku ingin memberitahumu wahai sebuah nama yang sempat kukurung dalam doa. Aku bahagia mendengar kabar bahagia ini, bagaimana tidak meski pernah ada tinta hitam yang melekat di kantung jiwaku. Kamu tetap kamu yang berhak kumaafkan tanpa alasan, semua kesalahan yang pernah kamu lukis perlahan telah kubasmi dengan kalimat ikhlas. Terima kasih, sudah menjadi jembatan menuju masa depan yang gemilang. Berkat keputusanmu, aku mampu berjalan di atas dan bebukit yang curam, sendiri. Lalu akhirnya Dia menuntunku menemukan sepotong kisah yang baru, kisah yang baru sembilan purnama kujelajahi. Doakan, aku dan dia merasakan hal yang akan kamu ciptakan di tahun ini.

Percayalah, sisa-sisa kebahagiaan bersamamu telah lenyap dilahap waktu. Jangan berpikir aku masih mengharapkanmu. Aku sudah bahagia dengan keputusan yang pernah kau ketuk di pintu masa lalu. Semoga kamu dan aku saling menjaga cinta yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Dan semoga apa yang sama-sama kita genggam saat ini, adalah mutiara terbaik untuk kita pelihara sampai firdausNya. ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri