Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Untukmu Neng

Gambar
Selamat berkurang jatah usia. Neng, begitu ucapku saat memanggilmu. Terima kasih telah mengenalmu hampir tiga enam purnama. Apa kabar hari ini? semoga harapan yang membentang sesegera berwujud nyata. Kamu ingat? kali pertama waktu mempertemukan kita di aula sederhana fakultas ushuluddin. Sebuah tempat yang pernah membuatku bersyukur atas gelar tiga buah di belakang namaku. Malam itu, saat udara di kota bengkuang hampir gigil, kau dan rombonganmu singgah lantas mengadakan perjumpaan ramah. Kamu dengan balutan almameter hijau sementara dari pihak kampusku dengan balutan almameter berwarna dongker. (Abaikan warna almameter kami yang mulai berubah akibat efek editan, *tutup muka) :P Entah kenapa, saat itu aku begitu hasrat mengambil beberapa potong gambar untuk dijadikan sebuah kenangan. Lantas bertemu dengan kumpulan mahasiswi yang tengah diburu lelah, dengan ramah kamu menawari sebuah kamera yang ukurannya lebih gemuk dan besar dari kamera yang sudah kugenggam. Jujur itu kali pertam

Sayur Asem

Hari ini kembali menyapaku, sebelas Juni 2011, sabtu sore pukul lima menjelang petang, semesta berkata beda. Orang-orang berdatangan dengan bawaan di lengan kanan. Aku heran, mengapa rumah begitu ramai. Air mata menghiasi langit senja kala itu. Ba-bapak ucapku terbata di hadapannya. Kedua netra tertutup sempurna, mulut terkatup rapat-rapat. Sisa-sisa menahan nyerinya mengalir lembut di kedua pipi. Teteh perempuanku pingsan, orang-orang semakin ramai. Innalillahi wainnailaihi raji'un, aku mendengar gema dari surau-surau. Mengapa nama bapak mereka perdengarkan dari celah-celah pengeras suara. Keranda telah tiba, beberapa diantara mereka merajut kembang-kembang. Aku masih dengan tanya ingin tahu, ada apa?? Mengapa suasana semakin haru. Bapak belum meninggal, gumamku pelan. Entah kenapa tiba-tiba mereka tega melucuti pakaian Bapak. Aku menangis sejadi-jadi. Seseorang memenangkanku, di ajaknya aku berwudhu. Aku lantas ikut memandikan beliau di kamar kecil dengan terpal p

Yang Tak Boleh Kulupa

Gambar
Sebuah catatan yang masih hinggap di medsos. Banjir?? lima huruf yang melempar memori untuk berada di satu kota, kota yang pernah menjadi impian dalam hidup. Ah tidak, itu dulu. Semasa alam di sana masih ramah menyapa. Jauh sebelum banjir yang melanda kota Padang kemarin, saya pernah menikmati empat kali genangan air di kota bengkuang. Saat itu kost saya yang berada di bilangan Surau Balai, samping Masjid Al-Ikhlas tersebut Andromeda. Kali pertama banjir saya justru sedang berada di kampung halaman, Dharmasraya. Kabupaten yang kini di pimpin oleh Sutan Riska. Alumni SMA N 1 Sungai Rumbai yang juga pernah menjadi masa-masa sulit bagi saya dalam menimba ilmu di bangku putih abu-abu. Meninggalkan kota padang beberapa hari tentu saat itu saya harus mengunci lemari pakaian, barang yang letaknya di luar sudah di kemas oleh rekan saya Nila dan Kakak kos saya Putri, tatkala banjir melanda kost kami. Walhasil sepulang saya dari kampung, baju satu lemari basah semua. Keesokann

Senja Pukul Lima

Gambar
Oleh : Maria Ulfa tak ada sentuhan merah mega  hanya alunan cerita usang dan degup yang menggugup di antara denyut ilalang  yang menyipu tanah menabah, kemarau di awal musim tak bisa dicegah di sini, hangat senyummu menyapa tubuh yang merindu sementara tangan rintih  menggenggam harapan bisu hati yang begitu daun, tekun menabahi resah memeluk kisah yang terbentur pada dinding yang ceroboh padamu kemuning kecil, cahaya emas yang semakin jatuh terangi siluet yang karam dalam kegelapan yang merapuh katakan pada temaram yang legam, aku butuh purnama bersinar yang hinggap di langit seberang jika pun terasa rumit, aku akan begini saja mengakrabi hitam yang semakin sahaja menunggu matahari--setelah embun mengetuk pintu pagi perihal asa, biar kutabung pada doadoa sepi Karawang, 12 Oktober 2016

Untukmu Aku Bismillah ^^

"Jangan lupa sholat istikharah Ya," ibu mengeluarkan kalimat itu, tak lama setelah aku bercerita tentang obrolan kita di telepon pagi tadi. Tentang niat pulangmu menuju kampung halaman. Aku sontak kaget, mngapa ibu tetiba berkata demikian. Padahal, tanpa sepengetahuan beliau, di sepertiga senin malam kemarin aku telah melakukan sholat tersebut. "Al hamdulillah, aku sudah melaksanakannya Bu." Jawabku dengan nada rendah, akibat letih seharian bekerja di kawasan Green Village, mematuti layar kaya 14 inci. "Tapi, ini kali pertama aku menunaikannya, bagaimana menurut ibu?" imbuhku penasaran. Ibu meletakan piring yang sedari tadi berada di kedua telapak lengannya. Lalu mereguk air dalam gelas muk sedikit, untuk membersihkan tenggorokan. "Tidak masalah, jika memang sudah kamu tunaikan itu lebih baik, kamu sudah dewasa dan cukup matang untuk menentukan pilihan terbaik sesuai persetujuan dariNya." Aku mengangguk paham, lalu melepas kerudung o

Tere Liye

Siang pukul dua, aku mengunggah sebuah gambar yang berisikan dua buah buku di kamar obrolannya. Sebelah kiri buku berwarna hijau tosca, terlihat ada robekan kertas yang di himpit oleh satu kata--pulang. Sementara buku di sebelah kanan, berwarna oranye dilintasi tinta hitam dengan rangkaian huruf yang berbunyi rindu. Yaps apalagi kalau bukan novel milik lelaki kelahiran Sumatera Selatan 36 tahun silam. Sang inspiratif kalangan muda-mudi.  Aku mengenal karya beliau pertengahan 2015, saat itu aku mendapati kakak kosku bernama Nora. Perempuan asal Solok yang tengah melanjutkan studi S2 di Pascasarjana UIN Padang. Saat itu, ia tengah asyik senyum-senyum sendiri, di hadapan buku tebal. Kalau tidak salah, buku yang sedang di baca adalah Rindu. Aku tiba-tiba memecah kesriusan membacanya, lantas kutanya asyik benar kak. Ia hanya mengangguk kecil, lalu kutarik sampai kubaca nama penulisnya yang sekilas mirip dengan judul lagu india dalam kisah Veer Zaara.  Film india yang diperankan ole

Dilan - Pidi Baiq

Gambar
Pagi ini, saat udara Karawang masih basah oleh sentuhan tangkai-tangkai hujan sisa semalam. Aku kembali merampungkan bacaan Dilan,  buku milik lelaki asal Bandung yang mengaku imigran dari Sorga, yang diselundupkan ke Bumi oleh ayahnya di kamar pengantin dan tegang. Haha, hanya haha yang bisa aku tulis. Buku ini terlalu singkat untuk aku sudahi, padahal masih ingin lama berkenalan dengan Milea, Dilan, Bunda, dan sederet tokoh di buku Dilan. Entah kenapa, aku sangat suka sekali dengan tekhnik penyampaian ide sang Pidi Baiq. Bahasanya elegan, tidak mengandung kata-kata penuh sarat. Buku dengan ketebalan 330 halaman ini sangat cocok untuk di konsumsi remaja, terlebih para pria yang kadang mengalami kepayahan saat melakukan taaruf dengan mahluk bergelar wanita. Well buku dengan bungkus berwarna biru langit, serta dibubuhi gambar anak lelaki SMA yang sedang bercakak pinggang di samping motor CB 100 nya. Sudah selelesai aku baca, buku ini sebenarnya sudah terbit lama. Di bilang terlamba