Surat Untuk Timur #2

Assalamulaikum wr.wb

Saat ini, seiring butiran abjad berjatuhan di layar komputer. Di luar, awan-awan tengah membentuk gumpalan hitam, sinar mentari yang sedari tadi menyiram jalanan  kota, perlahan kembali tersuruk di muramnya langit.

Aku mengintipnya dari punggung jendela yang hampir pudar di peluk milyaran debu. Dari sudut-sudut kecil tempatku beramain dengan benda-benda sunyi. Buku tebal karya Ahmad Fuadi, segelas air mineral yang terkurung di dalam wadah berwarna oranye, setangkai pulpen dan secarik kertas bisu. Mereka sahabat teraman yang kupunya. Mereka tidak pernah berkhianat. Selalu setia mendengarkan celotehku.

Aku sangat senang, bila pada akhirnya mendung tak membohongiku. Aku merindukan gemukan-gemukan air yang kesekian. Aku merindukan di mana air mataku memperoleh sahabat terbaiknya untuk bersuara.

Kamu apa kabar hari ini? semoga hatimu tetap secerah matahari pagi, tetap berpendar sampai senja membenamkan semangatmu.

Kamu ingat? semalam kita sempat berdebat hebat. Saling berebut menjemput ego masing-masing. Aku lelah, aku pasrah dengan kondisi semalam. Jika pada akhirnya rindu belum menemukan rumah untuk berpulang. Barangkali hanya doa yang sanggup menumbuhkan rasa tabah.

Aku paham, bagaimana masalah yang tengah menimpamu. Sementara hatiku masih saja berisik soal mencemaskan dan merindukanmu. Maaf aku belum bisa mencurahkan solusi apa-apa. Tapi harus kamu tahu, dalam hening waktu aku selalu menegadah, meminta solusi yang tepat pada sang maha penolong.

Percayalah, kemarahanku semalam bukan terlahir dari akal sehatku. Ia tumbuh dan merambat dari akar kecemasan. Aku merindukanmu Timur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri