Nila Belum Berpadu dengan Magenta

Sekembali dari mushalla tempat ku bekerja, aku merundukkan kepala. Mengintip baterai ponsel yang terpeluk alat pengisi daya di dinding kusam. Meski baru terisi 75 %, aku sudah tidak sabar mencabutnya dari pelukan cas kodok, lantas mengaktifkan ponsel yang sudah off selama hampir 6 jam.  Aku buru-buru menekan tombol mungil di sisi kanan ponsel. Tulisan Asus itu berjalan lindap, mengerjap-ngerjapkan cahaya terang. Setelah memunculkan wajahku yang menahan bibir untuk tampak manis di layar kecil persegi panjang, kuaktifkan data internet. 

Tiba-tiba aku merindukan aplikasi bbm, dan saat kubuka tanda bintang kecil berada di ikon obrolan. Kubuka, ternyata diskusi teman-temanku semasa berada di putih abu-abu, nama grubnya manis manja. Aku ingat betul kalau tidak salah yang menegakkan grub itu Elpira alias Pipi. Perempuan yang dua tahun silam, berhasil meraih gelar Dokter Gigi di Universitas Baiturahmah Kota Padang. 

Jujur aku jarang sekali hinggap dan bernostalgia di obralan itu. Aku merasa aku tak layak bersanding dengan teman-temanku yang rata-rata anak kesehatan. Dila, perempuan berlesung pipi kanan kini telah menjadi Bidan di kampungnya. Anti seorang perawat muda berkaca mata  yang mulai meniti karir di tanah kelahiran. Yeli, perempuan cerdas berkulit gelap telah menjadi ahli kimia di bidang farmasi. Aku? hanya lulusan perguruan tinggi agama di Kota Padang. 

Bukan tidak menghargai perjuanganku selama empat tahun. Aku sebenarnya memiliki grub teman yang memang setara dengan kondisi sosialku. Vonny dan Ike, dua orang yang masih melekat di memoriku. Meski mereka lulusan kampus terbaik di asia tenggara. Mereka masih menganggapku karib. Mereka apa adanya. Aku lebih suka menghabiskan waktu senggang dengan mereka. Tapi sayang setelah jarak memisahkan, keheningan kembali dimulai. Tak ada kabar atau percakapan yang terserak di whatsapp.

Berselang detik pun, tanda bintang kecil berwarna merah menghimpit ikon obrolan, dengan hati-hati ku geser-geser ponsel. Al-hamdulillah lirihku, nama seseorang yang memang kutunggu muncul di ruang obrolan. 

"Neng lagi apa?" nada lembut itu mengiringi aksara yang berbaris di layar ponsel. Tertanda pukul 9.06 am. Aku membukanya pukul 1.15 pm.

"Maaf lama balasnya, tadi batrainya di lepas. Kataku membalas penuh energi.

Seperti biasa dia hanya membalas dengan kata Mmmmmh..., dan percakapan hari ini seringkas senja di tepian sore. Terlalu cepat berlalu. Masih belum cukup rasanya untuk melepas rindu. Ah rasa apalagi batinku. Tiba-tiba saja, jiwa pujanggaku merayu, aku pun menulis pm di bbm begini.

"Siang, meski nila belum berpadu dengan magenta. Sepertinya langit terburu-buru menanggalkan syap-sayap senja."

Aku tak peduli, orang memandangku apa. Aku memang menyukai puisi, dan kadang menjadi penulis puisi. Yah meski pun amatir setidaknya hampir sepuluh puisiku lolos di beberapa penerbit untuk di bukukan. Terakhir yang kuikuti Puisi Semalam Di Cianjur, aku berhasil nenduduki peringkat 40 untuk di cetak menjadi sebuah buku.

Tiba-tiba tanda bintang menghimpit kembali tubuh ikon obrolan, Ike dia menanggapi pm yang baru saja ku klik kirim.

"Puitis Iyak sekarang ya", celetuknya dalam obrolan di bbm. Dengan dilengkapi emotikon tertawa.
"Jadi penulis aja Yak", sambungnya di obrolan yang baru.
"Kirim aja puisi-puisi ke koran atau web gitu."

Aku meringis dan tersipu sebelum akhirnya membalas tanggapannya.

"Haha cuma iseng ke."
"Jangan di seriusin."
"Yang pantas jadi penulis mah Ike."
"Kan anak sastra."
"Sekadar menyukai puisi aja," balasku merendah.

"Walau cuma iseng, puisinya bagus-bagus. Dalam-dalam maknanya, Ike walau pun anak sastra gak bisa bikin puisi." Emotikon terbahak kembali ia sisipkan.

"Kan jadi penulis ga harus ambil sastra," tambahnya menyemangatiku.

Hening sejenak, aku kembali meringis. Benar katanya, untuk menjadi penulis tak harus mengambil jurusan sastra. Dia bilang kenapa dulu nggak ambil sastra aja. Aku hanya membalas datar soal pilah-pilih jurusan sudah berlalu, yang terpenting itu rajin membaca saja. Insyaa Allah kedepannya akan lebih maju. Dia pun mengakhiri percakapan denggan tanda senyum. Aku membalas senyum dan tanda pelu.

Aku tertunduk diam, sebenarnya puisi yang beberapa menit tersebar di beranda bbm hanya untuk menyuarakan pedalaman hati. Aku ingin dia sedikit lebih peka, mengapa hampir sepekan ini aku dan dia seperti senja di musim sore. Hanya hinggap sebentar lalu pergi setalah malam ditimang rembulan. Aku berharap Allah memuliakan pekerjaanmu hari ini, menukar lelah dengan rezeki yang berlimpah. Aamiin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri