Cerita Ephemera Istimewa

Kali ini saya cukup tertarik dengan tantangan yang diberikan oleh penulis muda yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir di kalangan remaja. Ahimsa Azleave, siapa sih yang tidak mengenal sosok perempuan lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Telkom, Kota Kembang ini. Perempuan penyuka warna biru, yang telah berhasil menerbitkan satu buah karya terindahnya berupa buku kumpulan cerita-cerita bertajuk Ephemera. Satu kata yang membuat saya bertanya-tanya makna sebenarnya, sampai akhirnya saya berniat memilikinya.

Beberapa tempo hari, di beranda akun sosial media cetusan Mark Zuckerberg milik saya tepatnya satu hari usai memperingati pesta kemerdekaan Republik Indonesia. Saya membaca postingan Mba Himsa, dengan beberapa rangkaian huruf kecil berbaris membentuk sebuah kalimat “Ulas Ephemera Dapat Novel Teka-Teki Rasa” hati kecil saya bergumam sepertinya menarik untuk saya telusuri lebih jauh. Beberapa kalimat penerusnya yang masih tertutup dengan tulisan lanjutkan membaca. Usai membaca sampai habis, saya paham bagaimana langkah dan tahapan agar mudah mendapatkan novel TTR. Jujur keterlibatan saya dalam event ini, tak lain hanya untuk mengasah kemampuan menulis saya. Bagi saya menulis itu pekerjaan paling mulia, pekerjaan yang tak menghabiskan biaya. Hanya bermodalkan membaca seseorang dapat merekam kembali peristiwa lampau lewat kertas-kertas sunyi.

Alhamdulillah syaratnya cukup gampang, tidak harus merogoh rupiah apalagi menguras tenaga dalam. Hanya perlu mengulas kembali buku Ephemera yang sudah di baca. Dan kebetulan, pada permulaan bulan Mei kemarin saya telah memesan dan mendapat merchandise spesial dari Mba Himsa karena membeli buku keren ini.

Teruntuk kalian yang sedang didera penyakit melankolis, percaya deh buku satu ini bisa secara perlahan menerapi hati kamu. Mulanya, saya tertarik membaca buku ini karena beberapa postingan di fanpagenya Mba Himsa selalu menampar kesedihan saya. Membuat saya sadar arti makna hidup sesungguhnya. Dan di beberapa postingannya, Mba Himsa seakan sedang menggambarkan keberadaan hati saya. Saya masih ingat, postingannya tentang menulis dan patah hati. Semenjak itu saya menjadi followers tetap Mba Himsa.

Untuk permulaan bab di buku Ephemera, Mba Himsa berhasil menjelaskan bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah mimpi yang kadang memang harus kita tinggalkan, lantas menyibukan dengan apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita tidak pernah tahu kejadian di masa mendatang seperti apa, boleh jadi kesempatan itu akan datang kembali untuk kedua kali dan saat itu kita bisa menjemput mimpi yang pernah kita tunda.Yang paling penting, menumbuhkan benih-benih percaya pada sang perancang segala.

Berbeda dengan cerita keempat, Mba Himsa menyuguhi satu cerita yang akhirnya membuat saya cukup sadar dengan kejadian yang lampau. Kejadian yang pada akhirnya bernama kenangan. Dan harus kita lupakan.

"Aku malah menangis. Ia memelukku. Aku tidak tahu sakit apa yang tadi kurasakan mengetahui sebuah cerita yang sudah terlewat. Aku tidak tahu mengapa tadi dadaku sesak melihat cerita Tuhan yang sebenarnya. Tapi kurasa Mas Darma benar, Tuhan pasti punya alasan. Dan mungkin alasan Tuhan menjauhkanku dengan Fardan. Karena Dia sudah menyiapkan lelaki sebaik dan sesabar Mas Darma untukku. Barangkali begitu." (Dalam buku ephemera halaman 42- Episode yang terlewat).

Mba Himsa selalu berhasil menghipnotis saya lewat tulisan-tulisan sederhananya. Lihatlah! penggalan cerita di atas, menyadarkan kita bahwa setiap cerita yang sudah terlewat, akan memperoleh cerita baru dengan tokoh yang baru pula. Dan tentunya di balik keaadaan resah, lelah dan pasrah. Dia sedang merencanakan sesuatu yang indah.

Dalam beberapa tulisannya, Mba Himsa selalu menegaskan kepada pembaca untuk tidak boleh larut dalam keterpurukan. Karena semua yang terjadi hanya sebatas Ephemera. Akhirnya saya bisa menangkap makna ephemera dari cerita keenam belas. Satu cerita yang menjadi judul menarik buku perempuan yang sedang menekuni dunia kepenulisan dan menikmati perannya sebagai istri dan ibu. Saya menyimpulkan, ephemera sebagai defenisi dari kata sementara atau fana. Dan buat kalian yang sedang patah hati, yakin bahwa patah itu hanya sementara. Tuhan selalu punya cara untuk mengembalikan senyum kecil di bibir hambaNya.
“Hari ini aku tahu, bahwa perasaan sesungguhnya amat bisa kita dikendalikan. Hari ini aku hanya ingin bilang, bahwa aku sudah bisa menerima Hansa lagi sebagai teman. Teman, tanpa embel-embel perasaan yang tersembunyi, apa lagi sakit hati yang membekas. Ya, kadang kita hanya perlu jeda. Bukan untuk selamanya. Karena ini semua pun sebenarnya hanya ephemera.” (Dalam buku ephemera halaman 150-Ephemera).

Dari awal saya membaca postingan Mba Himsa, saya selalu jatuh hati dengan rangkaian kata sederhananya. Kalimat yang pada akhirnya menyadarkan para pengidap melankolis untuk bangkit dan berdiri lagi. Kadang saat membaca buku ephemera saya senyum-senyum sendiri, sesekali tertawa geli. Apalagi cerita ketujuh belas, tentang frekuensi. Cerita sambungan dari judul sebelumnya. Ya, apalagi kalau bukan ephemera. Duh ini satu-satunya cerita yang paling membekas di memori saya. Tentang pertemuan dua insan yang sudah saling ikhlas melepas terhadap kejadian masa silam. Tesla dan Galang, pertemuan dua mahluk berbeda passion yang cukup unik ini, membuat mereka akhirnya berjodoh. Tesla seorang penulis sementara Galang seorang fotografi handal.
“ Sesuatu yang kita inginkan, seringkali justru kita dapatkan setelah mengikhlaskannya.” (Dalam buku ephemera halaman 163-Frekuensi)

Adapun cerita lain yang masih membenak dalam hati ialah cerita tentang Foto, sangat suka sekali dengan alur ceritanya. Penulis sangat mahir memadukan kata demi kata hingga tercipta kalimat elegan, serta mudah dikelola oleh kemampuan rasional. Satu kutipan sederhana dalam cerita foto yang menjadi poin penting untuk menerapi jalan pikir akal sehat saya.
“Begitulah. Barangkali kita memang harus bertemu saat hati sudah bersih dari goresan masa lalu. Karena untuk membangun masa depan, terkadang kita perlu memperbaiki masa lalu.” (Dalam buku ephemera halaman 137-Foto).

Ada banyak cerita-cerita menarik dalam buku ephemera, cerita yang selalu menyadarkan para pembaca untuk lebih memaknai hidup. Dari keseluruhan cerita yang saya baca, ada beberapa cerita yang ketika telah usai di baca ingin lagi saya ulang untuk membacanya. Diantaranya, episode yang terlewat, frekuensi dan foto.

Namun selain ketiga cerita di atas, ada cerita pamungkas yang juga berhasil menarik perhatian akal sehat, untuk menjadikan kalimat di dalamnya sebagai alat terapi paling murah.
“ Perlahan tapi pasti, mencintai adalah mengenal Dia. Mengenal setiap makna di balik takdirNya. Mengenal semiotika kehidupan. Mengenal setiap rasa dan logika yang dititipkan di tubuh dan jiwa kita. Bukankah mengenal dan mendekat padaNya adalah hakikat hidup itu sendiri?” (Karena Jatuh Cinta dan Patah Hati Hanya Sementara).

Menarik bukan, setiap cerita di dalam buku ephemera selalu menyediakan solusi masing-masing untuk menghadapi lika-liku masalah. Dan yang sangat saya suka dari buku Mba Himsa, dia selalu melibatkan Tuhan di setiap tulisannya. Ini menyadarkan kita sekali lagi bahwa hidup hanya ephemera. Dan yang abadi hanyalah Dia yang telah menciptakan kita dari setetes air mani. Semoga bermanfaat. Jangan sampai terlewatkan dengan buku keren ini ya. Terima kasih telah membaca ulasan ringkas saya tentang buku Ephemera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri