Tere Liye

Siang pukul dua, aku mengunggah sebuah gambar yang berisikan dua buah buku di kamar obrolannya. Sebelah kiri buku berwarna hijau tosca, terlihat ada robekan kertas yang di himpit oleh satu kata--pulang. Sementara buku di sebelah kanan, berwarna oranye dilintasi tinta hitam dengan rangkaian huruf yang berbunyi rindu. Yaps apalagi kalau bukan novel milik lelaki kelahiran Sumatera Selatan 36 tahun silam. Sang inspiratif kalangan muda-mudi. 

Aku mengenal karya beliau pertengahan 2015, saat itu aku mendapati kakak kosku bernama Nora. Perempuan asal Solok yang tengah melanjutkan studi S2 di Pascasarjana UIN Padang. Saat itu, ia tengah asyik senyum-senyum sendiri, di hadapan buku tebal. Kalau tidak salah, buku yang sedang di baca adalah Rindu. Aku tiba-tiba memecah kesriusan membacanya, lantas kutanya asyik benar kak. Ia hanya mengangguk kecil, lalu kutarik sampai kubaca nama penulisnya yang sekilas mirip dengan judul lagu india dalam kisah Veer Zaara. 

Film india yang diperankan oleh aktor tampan sahrukh khan. Sebenarnya aku tak suka-suka amat dengan film India, tapi seseorang telah membuatku jatuh hati dengan film-film beraroma bollywood. Lusi, perempuan hebat yang lebih dari sekadar teman biasa. Perempuan yang dengan lapang menerima segenap kurang dan lebihku. Perempuan berhati tangguh dan jarang mengeluh. Mungkin hanya dia yang benar-benar kuanggap sahabat. Menikmati tawa dan sentuhan masalah tanpa mengenal sarat. Dengannya hidup terasa lebih ramai, meski kadang sepi diam-diam datang menertawai. Aku masih ingat, saat-saat terakhir aku berada di Kota Padang.

Sore itu, sebelum esoknya harus bertolak ke Dharmasraya aku mengajaknya pergi ke Masjid Raya Sumbar. Hanya berbekal semangat dan langkah yang teguh. Akhirnya kami sampai di tempat yang di tuju. Tak ada yang kami lakukan, selain mengabadikan gambar utuh di pelataran Masjid Raya Sumbar. Hingga adzan maghrib mempercepat senja, langkah terayun untuk pulang dengan mengantongi senyum terlega. Setidaknya, meski belum pernah berada di Masjid itu, aku penah mengabadikan diriku dalam potret sederhana. Disambut hujan lebat, aku menaiki angkot berwarna telur asin arah pasar raya, sampai kemudian singgah dan menaiki angkot merah jambu. Maaf ya Si, itu kali pertama kita pergi tanpa ditemani cemilan dan minuman segar. Aku janji, jika waktu berkenan aku ingin menghabiskan senja bersamamu lagi, di bawah naungan langit senja sambil menyaksikan matahari di telan bibir pantai.

Semenjak menonton film tersebut, animo untuk mendegar lagu india mulai tumbuh. Aku mendownload lagu Tere Liye, kadang kujadikan irama pengiring menjelang mata terlelap. Bahkan, kata tere liye menjadi simbol jalinan kita. Ah ya aku lupa bagaimana akhirnya kita mendedikasikan dua kata tersebut sebagai simbol harapan yang besar. Sebuah cita-cita untuk memperjuangkan rasa atasNya. Hehe aku malu harus membahasnya di sini. Aku tak pernah bertanya soal dua kata yang selalu kau letakkan di bio akun sosmedmu, BBM, WA, IG bahkan akun 140 karakter. Aku yang terlalu percaya diri, atau semua hanya sebatas rasa sukamu atas karya-karya om Darwis Tere Liye? Ah aku memang hobi bertanya-tanya dan kerap membuat jawaban sendiri. 

Kalau memang kata tere liye itu kau dedikasikan untukku, aku akan bilang terima kasih. Dan aku yang tak mengerti maksudmu membawa-bawa nama penulis novel, membuat aku harus menyelaraskannya juga. Di dua akun sosmedku aku membubuhkan dua kata itu. Bahkan aku memberi tanda kurung pada sebuah abjad yang belakangan masuk ke daftar mimpi terbesarku. Mudah-mudahan pemikiranku kali ini tidak keliru.

Tiba-tiba, namamu muncul di layar kecil yang tengah tergeletak di atas meja yang sama putihnya dengan ponsel yang sedang menyuarakan nada dering Over The Horizon, alunan nada yang lembut dan menenangkan membulatkan mataku yang sempat menyipitt akibat di dera kantuk. Aku setengah tak percaya, sepagi ini namamu muncul dan menghubungi. Tapi aku juga tak ingin membuatmu menunggu karena lama kujawab. Aku tahu, belakangan kita sangat jarang untuk sekadar berbincang dan itu alasanku cepat-cepat mengeklik simbol telepon berwarna hijau di sebelah kiri.

Suaramu yang serak membuat aku yakin kamu baru menyambut langit pagi. Ah lagi-lagi kenapa harus bangun siang. Tapi aku tak ingin membahas itu. Kesempatan bicara denganmu dalih terbesar untuk bergegas menjawab telepon darimu. Aku tahu, kau rindu kan dengan suasana ini. Maksudku kita memang sudah lama tak menyapa langsung lewat udara, paling sering hanya sekadar balas-balasan chat lewat bbm, atau komentar. 

Lalu aku sempat tersedak, ketika kamu bertanya apakah aku merindukanmu. Ini terlalu menohok bila harus ku jawab iya. Lelaki memang tak pernah tahu, sebagian besar perempuan itu paling suka berkata tidak jujur. Padahal, jauh di lubuk hati mereka, dadanya tengah di sesaki hamparan bunga-bunga yang di hinggapi oleh bermacam-macam kupu-kupu. Mungkin itu hal kurasa saat tahu kamu menghubungi dan menyatakan apakah aku rindu atau tidak. Haha maaf untuk ketakjujuranku. Satu hal yang harus kamu tahu, rinduku setiap hari menyapa ingatan. Apa kamu baik, apakah sudah makan, apa yang sedang kamu lakukan, bersama siapa. Ah tak perlu kujelaskan tentang pertanyaan yang terus menghujani akalku. Setidaknya, dengan aku menjawab cepat teleponmu itu menandakan aku tengah menunggu sapaan darimu. Barangkali itu yang disebut rindu.

Aku sedikit mengalihkan percakapan siang itu. Kenapa kamu tidak jawab soal pilihan buku tere liye, tanyaku setengah mendesak, untuk memilih antara novel pulang, atau rindu. Lantas tanpa berpikir soal perasaanku kamu menjawab sekenanmu, aku memilih pulang untuk menemui rindu, katamu serius tanpa rekayasa. Haha, gumamku dalam hati. Kadang aku berpikir kamu cocok juga menjadi penyair muda yang setiap hari membuat aksara untuk menuntaskan beberapa perkara.

Sepersekian detik kemudian, kamu bilang lebih suka dua-duanya. Aku membalas, kalau aku sih suka pulang. Karena rindu sudah pernah kubaca meski hanya satu putaran waktu. Tiba-tiba kamu menyambar dengan jawaban--kamu suka pulang juga. Ah mengapa kamu masih menjadi plagiasi, seharusnya rindu dulu yang kamu baca kataku dengan nada tak suka. Padahal aku menanyakan ini, ada sesuatu yang akan kulakukan untukmu. Kamu pasti pennasaran kan, tentu ini masih menjadi rahasia kecil antara aku dan harapan yang senantiasa kusandarkan pada sang Maha Rencana. Semoga kedepannya hubungan kita masih berjalan sesuai rencana awal, tapi jika pun Allah berkehendak lain. Aku akan segera merapikan serakan hati yang sempat mengunci namamu dalam doaku.

Terakhir, saat kutanya apa kamu jadi pulang untuk menghadiri resepsi abang kandungmu dengan wanita pilihan hatinya. Mengapa kamu harus menjawab bingung. Bukankah ini kesempatan manis yang tak baik jika terlewatkan. Akan ada banyak sanak keluarga yang turut berkumpul di acara itu. Kamu bisa menjalin tali silaturahim lebih intim dengan mereka yang lama terenggut oleh jarak.

Dengan nada rendah kamu akhirnya berkata jujur. Kamu tengah bingung apakah kamu harus naik kendaraan udara atau kendaraan darat. Jika udara aku tak bisa singgah ke kotamu,katamu sejenak menghentikan detak nadiku. Lalu setelah mengumpul setumpuk alasan aku melarangmu untuk singgah di kotaku. Maaf aku tak berniat untuk menolak perjumpaan yang telah lama kusemogakan, bukankah kesehatanmu jauh lebih nomor satu. Siapa sih yang tak ingin bersua dengan seseorang yang telah berhasil memusatkan namanya di hadapanNya. Aku rasa aku tengah berdusta saat melarangmu untuk melakukan rute perjalanan via darat, lantas singgah menemuiku. Aku percaya, jika niat baik yang kamu tanam untuk bertemu denganku. Allah akan mendengar dan mengabulkan. Semoga begitu ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri