Sayur Asem

Hari ini kembali menyapaku, sebelas Juni 2011, sabtu sore pukul lima menjelang petang, semesta berkata beda. Orang-orang berdatangan dengan bawaan di lengan kanan. Aku heran, mengapa rumah begitu ramai. Air mata menghiasi langit senja kala itu. Ba-bapak ucapku terbata di hadapannya. Kedua netra tertutup sempurna, mulut terkatup rapat-rapat. Sisa-sisa menahan nyerinya mengalir lembut di kedua pipi. Teteh perempuanku pingsan, orang-orang semakin ramai.

Innalillahi wainnailaihi raji'un, aku mendengar gema dari surau-surau. Mengapa nama bapak mereka perdengarkan dari celah-celah pengeras suara. Keranda telah tiba, beberapa diantara mereka merajut kembang-kembang. Aku masih dengan tanya ingin tahu, ada apa?? Mengapa suasana semakin haru. Bapak belum meninggal, gumamku pelan. Entah kenapa tiba-tiba mereka tega melucuti pakaian Bapak. Aku menangis sejadi-jadi. Seseorang memenangkanku, di ajaknya aku berwudhu. Aku lantas ikut memandikan beliau di kamar kecil dengan terpal plastik. Usai di balut tiga lembar kain putih. Air mataku semakin deras, aku kembali mengambil wudhu. Usai di shalatkan, ambulan datang. Malam itu juga semua meninggalkan rumah, menuju rumah peristirahatanmu. 

Pak, aku hanya mengelus dada. Ah mengapa harus sedih jerit hati kecil, esok entah kapanpun hari itu akan menimpa semua mahluk di muka bumi.
Aku tahu, semua sudah kehendak Allah. Aku percaya engkau sedang tersenyum di selimut firdausNya. Satu demi satu langkah kaki pergi meninggalkanmu. Aku pun pergi dengan langkah yang berat, taburan bunga menghias rumahmu.
Maafkan aku Pak, beberapa bulan belakangan ini bahkan hampir genap dua belas bulan. Aku tak sempat memunguti sampah dan rumput liar di ranahmu.


Pak, begitu sapa anak bungsumu pagi ini. Anakmu yang belasan tahun silam sukar merapal huruf R. Terimakasih sudah mengajariku susah payah, berkat doronganmu aku pandai menyebut namaku sendiri yang memang tercantum huruf paling sukar bagi anak-anak berusia dini. Laleur Badeur Mapai Areui, begitu ucapmu saat aku lewat. Hari itu juga aku bisa melafazkan fasih, aku melompat di hadapanmu. Aku senang, guru-guru tidak akan menggantikanku saat di atas pentas ulah sukar merapal R.


Pak, ucapku paling lirih, ini hari di mana kami tak bisa menikmati sayur asem bersamamu, sambal terasi yang menyengat serta kolak ubi hasil tanamanmu di ladang yang tak luas milik kita. Lima kali ramadhan, puluhan purnama dan ratusan hari berlalu tanpamu.
Pak, meski terkadang aku menjengkelkan, bibir tak pernah bosan menggenggam namamu dalam hentak sujud dan doaku.


Pak, tersenyumlah sebab sampai detik ini, belum ada yang menggantikan sosok sepertimu dan engkau masih bertahta di relung hati.
Pak, hari ini Ibu sakit. Munginkah beliau sedang merindukanmu dan bolehkah aku rindu walau lewat bibir paling getir? walau dengan sentuhan kata paling sahaja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri