Kejutan Manis di Hari Senin

Belakangan, setelah si kuning harus mendekam di tukang servis aku sedikit kehilangan info dari berbagai media sosial. Bagaimana tidak, sabtu malam adalah jadwalku belajar dengan komunitas FLP di WhatsApp, kata teh Riana selaku pengurus utama FLP, untuk pemateri kali ini adalah Teh Een penggagas FLP Karawang yang hampir berjalan tiga tahun. Ditambah kuis Mba Afifah Afra di akun facebook, yang akan diumumkan sabtu malam tepat pukul duabelas waktu indonesia bagian barat.

Pasalnya Jum'at kemarin ponsel kuning harus rela aku inapkan di rumah sakit HP di bilangan Bintang Alam Teluk Jambe. Maklum si kuning memang sudah renta, wajar bila banyak berbagai penyakit yang mendera tubuhnya. Sore itu, menjelang matahari terbenam di kaki barat. Sepulang kerja aku langsung mampir di Jimmy Celluler. Sebuah toko yang menjual berbagai aksesoris Hp, mulai dari kabel penyambung, kartu perdana, charger, pulsa elektrik dan voucher untuk pelbagai macam kartu. Setelah memarkirkan si hijau, aku bergegas membuka helm kusam dan sarung tangan kucel. Lantas duduk di kursi pembeli, aku melihat penjual pulsa itu tengah duduk di sudut kursi kayu pudar sambil membenamkan kepalanya di atas meja yang di penuhi tumpukan kertas dan kabel berwarna hitam.

Aku sedikit mendehem, membersihkan kerongkongan agar saat memanggil suaraku tidak serak. "Punten Pak," suaraku memecah lelapnya. Sejurus kemudian dia memalingkan wajah ke arahku sambil mengucek-ngucek matanya yang bundar di hiasi alis mata rimbun. "I-iya neng, ada yang bisa saya bantu." Sahutnya sambil menuju kearahku. Iya Pak, ini saya yang 2 minggu silam pernah datang kemari untuk membenahi ponsel saya yang tidak bisa di charger ucapku antusias. "Oh iya, saya ingat." Si Bapak berperwakan tinggi itu menerbitkan senyum tipis. 

Aku merunduk tidak ingin membalas senyumannya. Aku perempuan bahkan tidak wajar bila menatap lebih. Apalagi itu seorang bapak-bapak setengah baya. Setelah kumatikan data dan kulepas kartu memori langsung kusorongkan si kuning di atas etalase bening yang baru di smprot oleh pembersih cermin. Si bapak tidak langsung meraih si kuning. Ia membalikan badan kurusnya ke meja yang di penuhi tumpukan kertas. Lalu menggapai buku hitam kurus persegi panjang. Ternyata itu buku nota, sebagai bukti untuk si pembeli dan penjual. Meski dalam hal ini aku tidak membeli melainkan meninggalkan si kuning untuk di benahi.

"Ada nomor yang bisa di hubungi," ucapnya dengan nada sopan.
"Ada," sambarku sekilas petir.
Usai membubuhi nomorku dan nama barang di lampiran kertas putih itu, si Bapak pun menyerahkan 1 helai kertas merah muda kepadaku. Lampiran kertas di bawah kertas aslinya. Setelah selesai transaksi aku bergegas pamit.

Berganti hari, waktu weekend kembali menyapa. Aku hampa, seketika terjaga dari tidur pagi itu subuh pukul setengah lima aku meraba bagian atas kepala. Aku menghela napas. Ternyata si kuning sudah aku titipkan pada penjual pulsa itu. Seperti biasa, meski weekend menghampiri aku tetap harus bekerja ke kantor di kawasan Green Village. Dengan setengah semangat aku pergi bersama abang tertuaku, hari itu beliau hendak bertakziah di tempat temannya yang baru tutup usia. Motor hitam miliknya di bawa ke sekolah oleh putera sulungnya. Menyusuri jalan yang di sesakki roda dua dan roda empat aku masih membayangkan bagaimana jadinya bila si kuning tidak mendapat perlakuan ramah dari majikan sementaranya. Hufft, aku mendengus tipis. Seraya membaca istigfar halus-halus. 

Sore pukul empat, setelah menunaikan empat rakaat aku melangkah pulang. Hari itu aku harus pulang naik angkot, abang pertamaku sudah memberi kabar bahwa beliau tiddk bisa menjemput. Spersekian detik, setelah tersapu cahaya keemasan roda empat dilapisi warna kuning berdecit di hadpanku. Aku langsung duduk di kusi panjang yang  masih lengang, hanya ada dua penumpang aku dan ukhty di depanku. Setelah turun di dekat terminal klari, aku berjalan meresapi udara gratis yang di limpahkan dari sang Maha Kasih, nikmat yang tak boleh aku dustakan keberadaannya. Menyusuri jalanan setapak aku bertemu serumpun ilalang perdu, kupetik satu lalu kutiup satu kuncup kembang ilalang. Langkahku henti sembari menatap merah saga. Entah kenapa, aku sangat suka waktu di mana nila berpadu dengan magenta. Karena saat itu waktu yang paling aman untuk mengingat kembali hal-hal yang paling sakit. 

Tidak, bukan berarti aku sedang patah hati atau aku sangat susah melupakan kejadian di masa lampau. Bukan itu, hanya saja aku tengah memikirkan seseorang yang dua minggu ini membuat hati tidak nyaman. Seseorang yang telah kuberi rasa lebih untuk sekadar meluapkan perhatian. Entah kenapa semenjak masalah demi masalah menimpalnya. Ia sedikit berubah, diam tak banyak cakap. Padahal biasanya apa pun kondisi dan situasinya dia tak pernah merasa untuk menyembunyikan hal semacam itu. Terang saja hati kecilku menjerit, atau mungkin dia sudah mulai melupakanku atau memang dia sedang butuh waktu luang.

Ya Allah, rasa apa ini. Kenapa saat menulis tentangnya jemari ini seolah menyerah untuk menyebut namanya kembali. Apa yang sedang kualami. Aku berharap engkau menjagaku dari keputusasaan dunia. Jadikan aku wanita berhati tangguh tanpa mengenal rusuh dan keluh.

Lupakan, ada Allah yang akan menolong setiap problema yang mendera. Tak ingin memakai prolog yang panjang langsung saja aku memanjatkan kalimat syukur, "Al-hamdulillah", aku selalu percaya kejutan pertolongan Allah. Di balik cobaan selalu terselip hikmah yang menawan. Al hamdulillah sekali lagi, hari ini senin pukul delapan lebih aku membuka Facebook, media sosial dengan simbol alfabet F. Tanpa mengklik ikon pemberitahuan di kolom pencarian aku mengetik nama Afifah Afra, penulis yang sepekan lalu mengadakan kuis. Dan aku telah berpartisipasi di dalamnya. Alhamdulillah namaku meraih posisi pertama dalam pemenang kuis kali ini. Terima kasih ya Allah untuk kejutan manis di hari senin yang semangat. Semoga kedepannya aku lebih giat mengikuti berbagai macam lomba di dunia kepenulisan. Ridhoi ya Allah. :) #keephamasahneng

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri