Rencana Allah Tak Kan Keliru

Setelah hampir sepekan mengirim artikel mengenai ulasan buku. Tiba-tiba perasaan gugup dan cemas menghantui. Ini kali pertama aku mengirim tulisan kepada penulis yang dewasa ini sangat hangat di lidah para pembaca. Tidak perlu kusebut siapa penulis yang telah berhasil mengajak jemari untuk merangkai kalimat-demi kalimat, memadukannya dengan kutipan indah yang terbubuh di dalam buku yang saat itu tengah kurekam kembali lewat butiran huruf. 

Saat selesai menulisnya ada kepuasan sendiri. Entah kenapa hari itu aku begitu yakin tulisanku akan lolos dan mendapat reward berupa novel. Begitulah hati bila ia sedang bersuara, merasa diri ini paling mampu mengalahkan milyaran artikel di belahan nusantara. Padahal keputusan mutlak bukan terletak pada analisis dan penulis itu sendiri, melainkan di tangan Allah. Sering kuingatkan diri untuk tidak terlalu puas dengan tulisan yang masih belum apa-apa jika di banding Alif dalam kisah Ranah Tiga Warna, yang begitu gigih belajar menulis sampai tulisannya berhasil tembus di koran ternama di Jawa Barat. Aku masih bocah kemarin sore yang baru merangkak di atas tanah, kadang jatuh dan terhempas. Masih banyak kekeliruan yang perlu direvisi ulang. Masih banyak proses dan gagal yang harus kuterima dengan lapang.

Hari itu, pengumuman lima pengirim ulasan terbaik  akan segera di umumkan. Aku masih saja berpeluh dingin. Kadang menumbuhkan rasa yakin. Sampai akhirnya malam pukul 8, aku mengecek medsos miliknya. Ternyata belum ada info tentang pemenang. Sekejap kemudian, aku membuka Instagram. Selain memiliki fanpage, penulis muda itu mempunyai akun instagram. Aku langsung berkomentar pada postingannya tentang video klip yang baru saja di unggah. Kak, info pengumuman pemenang ulasan buku kapan? tanyaku antusias. Karena terlalu lama menghanguskan paket di akun itu. Aku memutuskan untuk meletakkan ponsel kembali di atas tumpukan buku-buku. Sepersekian menit berlalu, kuraih kembali ponsel lantas kubuka facebook. Alhamdulillah penulis itu mengumumkan lima pemenang. Dengan gerakan pelan dan hati-hati, sembari memicingkan sebelah mata aku membaca dari awal tulisan. Deg, al hamdulillah namaku tidak tercantum. 

Dadaku sesak, hatiku perih. Rahang mulai mengeras. Awan hitam sedang bertarung di kantung kelopak. Pertahanan runtuh. Aku menutup mulut rapat-rapat. Ingin kutumpahkan kekecewaan lewat air bening di  dahan muka. Tapi aku malu, ibu dan kakak perempuanku berada persis di  depan TV yang sedang kami tonton. Aku segera menarik kain sarung mukena yang belum kugantung di hanger. Lantas menutup raut kesedihan lamat-lamat.

Begitu barangkali, semua sudah ada fasenya masing-masing. Tertawa, kecewa, pertemuan pun kehilangan yang menerbitkan sesak di dada. Rencana Allah tak akan keliru. Maka mengikhlaskan atas ketetapannNya akan lebih mendewasakan masalah. Semoga di masa mendatang aku bisa meraih reward dari tulisanku yang lebih menggigit. Terima kasih ya Allah. Apapu  keputusanmu aku percaya ini yang terbaik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri