Banjir

Aku masih lupa malam itu pukul berapa, kakak lelakiku tengah ribut membangunkan anak-anaknya yang masih tertidur pulas, seperti orang yang sudah benar-benar mati saja, sementara aku telah terjaga sembari mengucek-ngucek mata yang masih samar melihat langit-langit kamar. Tak lama aku pun keluar ternyata air sudah naik ke permukaan teras rumah kakakku, aku masih saja menguap aku menaksir ini masih sekitar jam 12 malam, dan benar saat menatap arloji perkiraanku tidak salah. Tak lama aku berlari kecil ke belakang mencari kain usang untuk dijadikan lap menyerap air-air yang mulai masuk menyelinap di antara celah-celah pintu. Jujur aku jijik melihat air yang masuk sudahlah berwarna kuning pekat di tambah tanah-tanah tak berdosa yang ikut masuk memenuhi ruangan tengah, tapi apa daya jika tanganku tetap merasa jijik aku tidak akan tenang melanjutkan tidur, sesekali aku mendengus hampir lima ember aku mendapat air perasan dari kain yang sudah kumal, sepertinya kain itu baju bekas anak pertama kakakku. Ringkas cerita waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB, akhirnya hujan mulai reda lantai sudah mulai terlihat bersih seputih kertas yang belum tercoret tinta. Aku tersenyum puas dalam hati bergumam, "akhirnya bisa melanjutkan tidur yang kurang pulas". Sebelum tidur aku membersihkan tangan dan kakiku, sebab aku tak mau gatal-gatal dan alergi menyerang kulit, sebenarnya aku tidak bisa berlama-lama dengan air, bagaimana tidak aku memang alergi dengan cuaca dingin hidungku tak bisa bersahabat baik ada masalah sedikit dengan indera penciumku ini, bahkan jika suhu udara cukup dingin mandi saja harus mengenakan air hangat, sampai terkadang teman-teman kos bilang aku anak manja lah ini itu dan sebagainya. Aku tak peduli yang jelas dengan cara itu aku bisa menjaga kesehatan dengan baik. Selang beberapa waktu, aku mencari-cari ponsel aku lupa semalam aku letakkan di mana, sampai akhirnya aku menemukannya. Seperti biasa jika ponsel sudah kugenggam tanganku tak bisa diam, menyentuh-nyentuh layar yang sepertinya layar itu telah biosan menerima sentuhan jemariku. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB aku belum juga bisa tidur, aku bingung apa yang harus aku lakukan sementara kakak lelakiku dan anak-anaknya tengah asik berada di alam mimpi, aku lupa aku fikir belum tidur dengan tegas aku berniat, lebih baik aku berwudhu melaksanakan shalat sunnah di malam hari, sepertinya itu bisa membuat pikiranku lebih tenang dan damai. Sampai akhirnya aku tidur dan terjaga lagi menjelang adzan shubuh berkumandag. The End

Karawang, 25 Januari 2016
Maria Ulfa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri