Maafkan aku ibu

Oleh : Maria Ulfa

Hampir dua pekan ini aku menghabiskam waktu dengan seseorang yang kusebut teman. Namanya Ridwan, pemuda yang berdarah minang dan mandailing ini tengah menimba ilmu di kota pahlawan. Setiap hari kami obrolan kami semakin hangat kadang mengukir tawa juga kecewa. Kumaklumi hal demikian. Malam tadi tepatnya pukul 20.30 di jam ponsel dia berpamitan pergi untuk mengunjungi toko parfum, selain jadi mahasiswa dia seorang pemuda yang mau berkorban, rela menghabiskan sisa jam kuliahnya dengan berjualan.

Aku salut memiliki teman sepertinya, ia tidak gengsi dan mau melakukan hal apa saja demi pertahanan ekonomi. Kuakui semasa kuliah aku pun pernah melakukan hal demikian, tepatnya pada semester akhir aku mendapat kerja part time menjual Risoles di depan Adek Swalayan Lapai kota Padang, aku tak pernah malu dan saat bersamaan sebenarnya aku sedang berusaha menyelesaikan skripsi apa daya jam untuk membuat skripsi kadang terpangkas oleh jam bekerja, aku yang terlibat dalam penerimaan beasiswa justeru tak kunjung cair kiriman dari kampung tersendat musim paceklik. Aku juga telah memutuskan untuk tidak membani Ibu dan kakakku.

Dan saat ia berpamitan entah mengapa tiba-tiba saja aku mengetweet status di akun pibadi milikku "Hati-hati di jalan malam semakin pekat di luar pun hujan lebat, pulang jangan terlambat." Dia memintaku untuk jangan terlelap terlebih dahulu, dia bilang aku harus menunggunya pulang. Dan akan mengirim ping di BBM jika ia sudah kembali.
Tadi sekitar pukul 19.00 kakak lelakiku datang membawa sekantung ubi bakar, dan setelah ia pulang aku mencicipinya dan ternyata enak mengenyangkan perutku yang sebenarnya masih lapar. Ibu pun mencicipi ubi bakar lantas menyuruhku mengambil minum. Saat kuberjalan menuju ibu yang terduduk di atas permadani tiba-tiba saja..

Prak!!! cangkir berwarna hijau daun yang sudah penuh terisi jatuh terhempas ke lantai seketika tembok pun basah, dan kenapa tiba-tiba saja aku parno apa yang akan terjadi gumamku, aku memikirkan Ridwan temanku ah mungkin ini memang sudah takdirnya jatuh. Akhirnya kuisi penuh lagi cangkir tadi ternyata malah bocor ada sedikit sedih betapa tidak tak mudah mendapat gelas itu. kuganti dengan gelas lain.

Usai menyodorkan minum pada ibu aku terbaring kembali sambil menyalakan tivi lantas mengambil ponsel dan kutanyakan padanya apa kau baik? selang beberapa menit ia menjawab tokonya tutup disertai emoticon sedih, aku bilang lekaslah pulang hati-hati ya tambahku lagi dalam obrolan di bbm.

Malam semakin larut orang-orang mulai menutup sebagian pintu rumah mereka mengurung anak-anak yang akan besok harus sekolah. Aku memutuskan untuk mengakhiri obrolan. Dan pagi ini aku terjaga tiba-tiba kunyalakan kompor memanaskan air untuk Ibu berwudhu aku kembali berbaring dan tak lama.
"Yak" teriak ibu dari kamar mandi ibu menjerit aku bergegas meraih suaranya. Saat kulihat ibu tengah terduduk lemah air panas yang kurebus  menyeduh pergelangan kaki ibu. Kerutan diwajahnya terlihat sedang melipat derita,  aku tak kuasa beliau hanya mengoleskan pasta gigi sepanjg area tersiram air panas. Ibu maafkan aku maaf belum bisa membuatmu tersenyum hari ini. Boleh jadi tumpahan air ssemalam pertanda ibu akan terkena petaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri