Kerinduan

Penulis ulung pernah berkata, luka adalah cara terhebat untuk bercerita. Dan benar, aku mulai merapikan ingatan dengan bahan bakar luka. Atas nama masa lalu yang kusut, hujan dan segala ketakpahaman pun beringsut, hadir sejenak menemani jemari menghapus mendung yang kau atur sedemikian rupa. Mulanya aku menyerah, langkahku sarat saat menuju kubikel bernama ikhlas. 

Saat itu, hanya ada sajadah kumal yang sempat kubeli di kota bernama kenangan. Mukena cokelat yang kuperoleh dari Bukitinggi nyaris mengeluh karena jarang kucuci. Ah bukankah ini sudah malam, matahari mana yang rela menjemput basah. Aku terpaksa menahan bangkai keringat yang lama melekat, lalu menengadah di hadapanNya. Sejadi-jadinya kubiarkan bulir bening berinteraksi dari sudut bola mata kepada sang maha segala.

Aku kemudian menghapus sisa-sisa kesedihan dengan punggung lengan yang gemetar. Getaran semesta kala itu begitu hebat, Tuhan apakah barusan engkau mendekapku erat? Ini pelukan hebat yang tak pernah kualami sebelumnya. Ataukah kau marah, aku sangat jarang menemuimu di sepertiga malam hening. Tidak aku bahkan telah menambatkan namamu di jantung hidupku. Maaf untuk kekeliruan yang pernah kulukis di kertas semesta. Aku merindukanmu, bahkan saat-saat di mana aku bahagia sungguh aku ingin Engkau membersamai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri