Sepotong Mimpi

Oleh : Maria Ulfa

Tiba-tiba teman sealmameter menghubungiku. Sudah genap satu tahun dia tinggal di kota kembang, melanjutkan studi magister di kampus Islam ternama. Dan sudah dua belas purnama pula kami tidak saling sapa, paling sekadar bertemu dengan postingannya di beranda FB dan itu hanya silih menyukai kirimannya. Dengan nada sedikit kesunda-sundaan.ia bertanya.

"Jadi niat ambil S2 masih ada kan?' Ucapnya sedikit tergesa-gesa.

Aku menggaruk kepala yang memang gatal di dera ketombe. Maklum di kotaku cuaca terbilang panas, hujan yang katanya romantis itu memang jarang turun. Padahal aku suka hujan, apa daya hanya membaca sepilihan sajak milik Mbah Sapardi ditambah novelnya Bang Tere.

Eh ada satu lagi novel remaja masa kini dengan latar di Korea, yang jelas novel tersebut ada unsur-unsur hujannya gitu deh. Ya gitu, kepala kalau sudah kepanasan apalagi perempuan yang mengenakan penutup kepala pasti akan lebih rentan terserang ketombe dan hal senada lainnya, tapi amit-amit kalo yang hadir itu justru hama kecil yang akrab disapa kutu.

Lantas kujawab.

"Niat mah ada, memang kenapa ya Tin?"

Sebut saja Tin, aku malas membilang nama original takut fans dia lebih banyak ketimbang aku.Dia anak kolongmerat kain di salah satu kota yang ada di Sumatera, tak perlu kusebut kota apa.
Mendengar Ucapan Tin aku menjawab.

"Bukan gitu, jadi di prodi kami bakal mempersiapkan beasiswa untuk siapa pun yang akan mengambil S2"Ucapnya serius tanpa rekayasa.

"Lalu,"? 

"Nah kalau kamu masih berminat, jangan lupa download formulir pendaftarannya di internet."

Aku terdiam

"Halo Neng," ia mencari-cari suaraku yang cempreng yang mulai minggat dari telinganya.

"Eh iya, lanjut Tin." Jawabku tanpa merasa bersalah, membiarkan mahluk bernama Tin kehilangan si vokal kejepit pintu.

"Masalah biaya pendaftaran 350 ribu, dan besok kalau ndak ada di usahakan dari sini, bagaimana?" Lagi-lagi ia terlihat serius.

"Hehe gimana ya Tin, niat memang ada doakan saja Allah menghendaki, timpalku singkat." Aku menggaruk kepala, tapi kali bukan karena ketombe, lantaran keraguan tengah melanda.

"Ok di tunggu kabarnya." Klik, dia menyudahi obrolan setelah berlangsung kurang lebih 240 detik.
Karawang, 02 Juni 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Yang Salah

Cerita Ephemera Istimewa

Review Dawai Cinta Tanpa Nada - Ansar Siri